Linam (3 tahun), anakku pernah menjadi pasien klinik tumbuh kembang dan melakukan terapi rutin di
sebuah rumah sakit kota kami. Musababnya adalah karena perkembangan motorik dan wicaranya
dinilai terlambat oleh dokter. Di usianya yang waktu itu sudah 18 bulan, ia belum dapat berjalan
lancar sebagaimana mestinya Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, akhirnya diputuskan untuk
memulai terapi tumbuh kembang supaya keterlambatan tersebut segera teratasi.
sebuah rumah sakit kota kami. Musababnya adalah karena perkembangan motorik dan wicaranya
dinilai terlambat oleh dokter. Di usianya yang waktu itu sudah 18 bulan, ia belum dapat berjalan
lancar sebagaimana mestinya Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, akhirnya diputuskan untuk
memulai terapi tumbuh kembang supaya keterlambatan tersebut segera teratasi.
Pada pengalaman itulah, aku sebagai orangtua banyak belajar. Betapa memiliki anak dengan kendala
pertumbuhan sama sekali bukan hal yang ringan. Anakku masih beruntung. Saat usia 2,5 tahun ia
sudah dapat mengejar ketertinggalan. Secara perlahan pertumbuhannya membaik, jalannya makin
lancar dan kata-katanya makin banyak bahkan dapat dikatakan cerewet.
Waktu itu, kursi tunggu rumah sakit adalah wadah saling berbagi antar orangtua. Ada yang anaknya
ADHD, down syndrome, autis ada pula yang cerebral palsy – di mana terapi lebih difungsikan untuk
menjaga anggota gerak supaya tidak kaku bukan semata-mata menyembuhkan.
Sebut saja namanya Bunda Jenny. Ia kerap datang tergoboh membawa kedua anaknya yang masih
kecil, sebut saja Boby dan Salma. Boby adalah anak berusia lima tahun dengan gangguan spektrum
autis. Sementara si kecil Salma masih bayi berusia satu tahun.
Bunda Jenny bercerita, Boby sudah menunjukkan gejala autis sejak usia 2 tahun. Ia tidak menoleh
sama sekali saat dipanggil, tidak dapat berbicara sepatah katapun, tidak peka dengan sekeliling, dan
kerap kali tantrum tanpa sebab. Kemudian Bunda Jenny membawa Boby ke dokter khusus tumbuh
kembang, lalu didiagnosis dengan spektrum autis.
“Awalnya memang berat rasanya. Apalagi di saat kerasnya berjuang tahu-tahu Bunda hamil lagi”,
ungkap Bunda Jenny.
“...sempat digunjing tetangga bahkan mertua sendiri, katanya aku tak becus mendidik anak. Katanya
ini kenakalan wajar. Tapi Bunda merasa peka dengan Boby. Akhirnya diperiksakan”, tambahnya.
Begitulah, stigma akan ABK (anak berkebutuhan khusus) kerap dimarginalkan.
Nah orang-orang seperti Bunda Jenny ini kerap kali dihadapkan sebuah dilema. Di satu sisi ia
berjuang untuk anaknya, ditambah minimnya dukungan dari lingkungan. Alhasil Ibu dengan ABK
rentan sekali terkena stress.
Untuk itulah, peran lingkungan dan komunitas menjadi krusial. Bayangkan apabila sesama orangtua
ABK memiliki komunitas yang saling berbagi, saling mendukung, dan saling menguatkan. Maka
beban orangtua yang memiliki ABK niscaya lebih terbantu.
Teman Autis
Pada tahun 2020, seorang psikolog asal Jakarta, Anastasia Satrio, Alvinia Christiany dan Ratih
Hadiwinoto tergerak hatinya untuk membentuk sebuah wadah komunitas orangtua dengan anak Autis.
Namanya Teman Autis.
Hadiwinoto tergerak hatinya untuk membentuk sebuah wadah komunitas orangtua dengan anak Autis.
Namanya Teman Autis.
Di website yang aku baca tersebut, banyak sekali informasi akutar soal Autis dan juga pertanyaan-
pertanyaan yang kerapkali ditanyakan masyarakat tentang Autis. Misalnya, Autis dan ADHD itu sama
atau tidak, bagaimana cara mendidik anak Autis, dan sebagainya.
Ada juga deteksi dini gejala Autisme bagi orang tua yang mencurigai anaknya memiliki gangguan
Autis. Walau tentu saja, diagnosis akurat tetap disarankan melalui kunjungan ke dokter.
Bahkan ada juga list sekolah yang ramah anak Autis, sehingga para orangtua ABK tidak bingung lagi
mencari sekolah insklusif yang menerapkan pendidikan ideal untuk Autis. Seperti yang kita tahu, pola
interaksi dan pertumbuhan anak dengan Autis cukup berbeda dengan anak pada umumnya. Mereka
membutuhkan penanganan khusus oleh ahlinya agar potensi mereka semakin keluar.
Teman Autis mengintegrasikan hampir semua badan, yayasan, komunitas, informasi, dan sekolah di
seluruh Indonesia yang berkaitan dengan Autis. Itulah sendi utama yang dibangun para founder
Teman Autis.
Sekarang bayangkan jika kamu adalah Bunda Jenny. Mendapatkan diagnosis pertama anaknya dengan
ABK saja sudah cukup mengguncangkan, lalu bagaimana kalau kita sebagai masyarakat menyediakan
wadah yang membantu Bunda Jenny menemukan lokasi yang bisa menjadi suaka?
Bunda Jenny tidak akan kesulitan mencari sekolah yang nyaman, rumah sakit, lokasi terapi, bahkan
ilmu parenting yang dikhususkan untuk merawat anak dengan Autis. Plus, Bunda Jenny akan bertemu
sesama orangtua dan yayasan yang sama-sama saling bahu membahu membantu dan berbagi
informasi tentang Autis.
Menolong sesama adalah komponen utama dalam gerakan Teman Autis. Untuk itu wajar, apabila
founder gerakan ini mendapatkan anugerah Astra SATU Indonesia Awards di tahun 2022.
Menurutku ini keren sekali, mengingat stigma terhadap autis memang belum seindah pelangi. Bukan
sekali dua, aku menemukan ada orang yang gemar menatap hp lama-lama lalu kemudian dianggap
autis.
Dan kita sama-sama tahu, bercanda modelan begini harus segera dihentikan.
Sumber: https://www.temanautis.com/
https://kumparan.com/kumparannews/6-peraih-astra-satu-indonesia-awards-2022-pejuang-teman-
autis-aktivis-papua-1z8lLz7DkoR
https://www.idntimes.com/life/inspiration/amp/mw/perjuangan-teman-autis-mendongkrak-stigma-
c1c2
0 komentar:
Post a Comment