Dua tahun
silam, waktu Linam baru awal mula MPASI, aku menyiapkan segala rupanya dengan
begitu cermat. Aku membeli buku-buku tentang MPASI, belajar gizi seimbang,
membeli peralatan MPASI paling mutakhir, sampai ikut kelas MPASI yang diadakan
komunitas ibu-ibu di tempatku.
|
Perubahan kentara berat badan Linam yang terlihat |
“MPASI yang
baik itu yang ada lemak tambahannya”, kata salah seorang praktisi MPASI sambil
menuangkan tiga tetes minyak goreng ke bubur bayi yang sudah kami buat.
Iya, minyak
goreng merupakan salah satu lemak tambahan yang bisa ditambahkan ke MPASI.
Bayi, khususnya yang usia di bawah 2 tahun membutuhkan lemak yang banyak untuk
membantu perkembangan otak. Berbeda dengan orang dewasa ya Bun, kita-kita yang
BMI-nya sudah limit atas sih disarankan untuk mengurangi lemak dan juga gula.
Begitulah.
Saban pagi aku rajin menyiapkan MPASI makan sehat tanpa lelah. Disaring, diblender,
dikukus, dan segala rupa cara masak yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Satu bulan
pertama MPASI adalah masa pengenalan. Bayi masih mudah disuruh membuka mulut.
Ia masih menerima segala rupa makanan yang aku berikan untuknya. Brokoli puree?
Daging sapi giling lembut? Nasi tim? Ikan blender? Semua hayuk. Tandas ludes
masuk perut.
Tiga bulan
berikutnya saatnya naik tekstur. Yang tadinya 100% lembut mulai dibuat ada
kasar-kasarnya dikit. Nasi tim, bubur kacang hijau lunak, agar-agar, mulai
dikenalkan ke Linam. Alhamdulillah masih mau.
6 bulan
pertama MPASI adalah masa-masa penuh membahagiakan. Mayoritas masakanku dimakan
dengan lancar jaya tanpa ada keluhan apa-apa.
Hingga
tibalah saat-saat kelam itu.
Linam
berusia 1 tahun dan mulai tumbuh giginya. Ia kian mengenal beraneka jenis rasa
dan tekstur makanan. Preferensinya mulai terbentuk.
Ia
menunjukkan tanda-tanda yang disebut orang sebagai GTM (Gerakan Tutup Mulut).
Mulutnya terkunci saat kusodori sendok. Setiap hari setiap saat.
Parahnya
lagi, waktu itu dibarengi dengan diagnosis GDD yang dialami Linam. Sudahlah
harus rutin terapi seminggu dua kali, ditambah GTM, susah komunikasi pula.
Baca juga:
GDD Linam & Terapinya.
Jadi aku
sama sekali nggak tahu dan susah mengira-ngira apa hal yang membuat Linam nggak
mau makan. Akhirnya drama makan pun hampir terjadi setiap hari. Pertarungan
tanpa henti dari seorang batita dan aku, ibunya, seperti hal yang sulit
dihindarkan.
Kalau kata
suami, jangan berani-berani cari masalah sama aku yang sedang menyuapi anak
karena dijamin semprotan yang akan keluar. Hahaha.
Sebuah sifat
yang sangat tidak Lady-like apalagi memenuhi standar ibu ideal khas mamak-mamak
Instagram.
Hal ini
berefek secara tidak langsung ke perkembangan Linam. Aku melihat BBnya susah
naik, dan terapinya seperti tidak kunjung membuahkan hasil. Aku sempet down dan
merasa gagal menjadi Ibu. Ditambah melihat anak-anak seusia Linam yang sudah
berlari-lari dan badannya gemuk-gemuk. Belum lagi ditambah omongan dari orang
lain bernada mencibir yang terlanjur kumasukkan ke dalam hati.
Saat itu aku
belum sadar bahwa sepertinya akupun berhak mengeluh, dan berhak berpikir jernih
supaya keadaan lebih terkendali.
Hingga saat
Linam berusia 2 tahun, perkembangan Linam datang bertubi-tubi. Dalam satu malam
(sebagai hiperbolis), Linam tahu-tahu bisa jalan, bisa ngomong, dan MAU MAKAN.
Luar biasa bukan?
Waktu itulah
aku merasa doaku sebagai ibu terjawab.
Bahkan
saking senangnya aku, kata dokter, Linam sudah menunjukkan kognitif setara anak
usia 3 tahun waktu itu. Terbukti dari perilaku dan rasa penasarannya yang kian
berkembang. Aku kini tidak susah berkomunikasi dengannya.
Fokusnya
sudah matang, BBnya ideal, dan mampu mengatakan makanan apa yang disukainya.
Baru aku ketahui bahwa dia suka makan ikan lele. Ikan air tawar yang rasanya
enak gurih itu ternyata lebih masuk mulutnya daripada salmon, daging, dan
protein hewani lain. Syukurlah, akhirnya ketemu makanan favoritnya.
Ini resep marinasi lele andalan Linam.
Bahan: 1 kg lele yang sudah dibuang perutnya
Bumbu:
- 3 siung bawang putih
- 5 siung bawang merah
- 2 ruas kunir
- 2 ruas jahe
- merica, ketumbar
- jeruk nipis
- kemiri
- garam secukupnya
Cara membuat:
- Blender semua bumbu kecuali jeruk nipis
- Balurkan ke seluruh ikan lele termasuk di dalam perut
- Taburi dengan jeruk nipis
- Disimpan di freezer untuk diolah kemudian
- Dapat segera digoreng atau dimangut sesuai selera
Semenjak
saat itu, aku sering banget memasakkan ikan lele untuknya. Dimangut, digoreng,
diolah apa pun dia suka. Rasanya belum pernah menyuapi anak semudah ini.
Selain itu,
aku juga pakai cara komunikasi ke anak untuk mengenalkan makanan-makanan lain.
Misalnya saat aku masak sop rolade, aku sambil ceritakan ke dia proses
pembuatannya. Alhamdulillah, anaknya antusias dan tujuan utama tercapai: mau
makan.
So, untuk
ibu-ibu yang mungkin masih berjuang mengatasi GTM anak, ingat kata-kata ini:
“Semua akan
berlalu, anaklah yang akan meminta makan pada waktunya kelak”
Dan tentu
saja, sampai itu terjadi, jangan patah semangat ya Bun....
#IbuJuara