Waktu itu tahun 2003.
Usiaku baru menginjak 13 tahun, dan duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku bersekolah di sekolah yang terletak di desa pesisir, jauh dari keramaian. Apa yang kami anggap kota adalah sebuah tempat di mana terdapat supermarket. Pokoknya jika di sebuah tempat ada supermarketnya, maka itu sah dikatakan k-o-t-a.
Imajinasiku tentang kota memang baru sebatas adanya supermarket.
Bayanganku tentang Jakarta – kotanya kota, adalah sebuah tempat imajiner yang hanya kaum tertentu yang bisa ke sana. Gedung-gedung tinggi, rumah mewah memiliki pembantu seperti sinetron Bidadari yang terkenal saat itu, dan orang-orang pergi ke kantor setelah menyantap sarapan roti. Yah, semacam itulah.
Aku yang setiap hari makan tahu tempe dan disuruh-suruh cuci piring cannot related, Bun!
Barulah pada waktu 2003 itu, sekolahku melaksanakan study tour ke Jakarta. Aku dan teman-teman senang bukan main. Maklum saja, Jakarta itu dalam benakku adalah kota yang wow. Ia cuma ada di televisi dan semua orang yang habis pulang dari Jakarta, menurutku terlihat keren dengan cerita-cerita mereka.
“Di Jakarta nggak ada sawah. Adanya gedung tinggi”
Begitu kata tetanggaku yang mudik Lebaran habis pulang dari Jakarta. Waktu itu internet belum masuk kampung, jangankan internet rumah, warnet saja belum ada.
Kembali ke perjalanan study tour. kami yang berjumlah tidak kurang dari tiga ratus siswa dikumpulkan dan dibagi per bus. Soal fashion, janganlah ditanya. Kami memakai style baju paling norak keren menurut kami. Tapi tidak lama setelah masuk bus, timbullah beberapa suara hoek-hoek anak-anak mabuk kendaraan. Ternyata kombinasi tidak menyenangkan antara; parfum yang dipakai anak-anak, tidak terbiasa naik bus, bau bensin yang menyeruak ke dalam badan bus, dan busnya tidak pakai AC.
Yups, kamu tidak salah baca. Bus yang kami tumpangi dari sekolah pesisir di Jateng sampai Jakarta selama lima hari TIDAK PAKAI AC sama sekali.
Bisa dibayangkan panasnya seperti apa. Dan aromanya, beuhhh. Udah mirip angkutan kota.
Mengapa pihak SMP tidak mengadakan bus yang ber-AC saja?
Hingga kini pun jadi misteri. Namun kemungkinan besarnya adalah karena ingin menurunkan biaya iuran untuk study tour ke Jakarta. Dengan akomodasi menyedihkan sederhana saja tidak semua siswa sanggup membayar. Apalagi dengan angkutan premium seperti bus AC. Kami adalah anak-anak dari kampung, yang mana banyak dari orang tua kami berasal dari kalangan kurang mampu.
Aku masih ingat, waktu itu kami disuruh bayar Rp 300 ribu untuk perjalanan study tour ke Jakarta. Itu sudah termasuk biaya bensin, tiket masuk, makan, penginapan, dll. Biayanya bisa murah, karena memang ditekan seminimal mungkin. Saking minimalnya, perjalanan berangkat dan pulang sengaja dibuat malam hari untuk mengurangi biaya penginapan. Anak-anak diminta membawa bekal sendiri untuk makan malam di jalan.
Sebuah bekal yang tidak jadi dimakan akibat mabuk kendaraan, atau jyjyk dengan sekresi lambung dari teman sebangku.
Jadilah malam pertama perjalanan ke Jakarta berlangsung dengan jauh dari khidmat. Bayangan mau ramai-ramai karaoke musnah sudah tergantikan dengan hoek-hoek yang tidak berhenti. Guru pendamping tak henti-hentinya menyalurkan antimo dan minyak kayu putih – yang baunya tidak memperbaiki keadaan malah justru memperparah.
Barulah saat jam 12 malam ketika bus (mungkin) sudah sampai Cirebon, suasana menjadi hening karena kami tertidur pulas.
Saat di pagi subuh, tibalah kami di lokasi pertama. Masjid Istiqlal. Lupakan check in di penginapan. Agen study tour lebih memilih mampir di Masjid Istiqlal untuk mandi dan ganti baju. Lagi-lagi karena ingin ngirit. Barulah setelah itu berangkat ke tujuan hari pertama.
Hari pertama perjalanan wisata kami adalah berkunjung ke Monas. Tentu saja. Karena lokasinya dekat dengan Masjid Istiqlal tempat mandi kami tadi. Aku merasa, Monas kok bagus sekali ya. Bisa ada apinya di atas, tinggi, megah, dan memukau siapa pun yang lewat di sampingnya. Begitu masuk, kami disambut dengan kang pemotong rumput yang bahkan alatnya belum pernah aku lihat. Itu lho, yang alatnya berputar-putar untuk memotong rumput. Pantas saja rumput di Jakarta rapi-rapi. Alatnya saja canggih begitu.
Sampai di Monas, pertama kalinya aku mencoba naik lift. Awalnya pusing dan ada rasa khawatir karena ruangannya kecil. Begitu di dalam, malah keasyikan karena ada sensasi naik dan turun. Begitu sampai puncaknya, aku senang sekali karena bisa melihat pemandangan kota Jakarta dari puncak Monas. Ini adalah bangunan tertinggi pertama yang pernah aku naiki.
Masih di hari yang sama, perjalanan dilanjutkan ke TMII. Namun sayangnya malah hujan deras. Akhirnya tamasya yang direncanakan turun sambil jalan-jalan di area TMII harus diganti dengan jalan-jalan sambil tetap di dalam bus. Pihak tur guide alias bapak supir sendiri sambil menjelaskan apa yang ada di kiri dan kanan. Ada bangunan tradisional dari Aceh sampai Papua di sana.
Lanjut, kemudian sore harinya kami check in di penginapan. Tolong jangan bayangkan penginapan yang bertaraf hotel bintang lima, yang satu kamar isinya satu sampai tiga orang. Tolong jangan.
Penginapan yang dipilih oleh planner study tour adalah asrama haji (atau mungkin pesantren) yang satu kamarnya diisi sepuluh orang. Mandinya, oho, tentu saja harus bergantian. Teman duduk aku, Romi, dia lupa membawa handuk. Yang akhirnya pinjam meminjam punyaku. Ah, Romi memang dikenal suka lupaan dengan barang yang mesti dibawanya..
Malam hari, saatnya para siswi-siswi berbincang ria. Mereka saling adu kehebatan tentang apa yang dilakukan seharian tadi.
“Aku di puncak Monas sampai hampir jatuh ke bawah, tahu!”
“Masa sih? Aku di TMII lihat kolam renang”
“Kalian sih sepele. Aku tadi dapat kenalan cowok lho!”
“HAH? SIAPA?”
“Itu, pengamen ganteng yang tadi nyanyi lagunya Sheila on 7 yang Kupetik Bintang”
-......-
Tentu saja kami menggunakan bahasa daerah yang aku ragu orang Jakarta akan mengerti.
Malam semakin larut, hari bergeming, dan petualangan perjalanan dilanjutkan hari kedua.
Hari kedua.
Kami packing sekalian check out penginapan. Inilah hari paling membahagiakan yang kami nanti-nanti selama setahun. Main ke DUFAN!
Hari itu kami sepakat pakai baju olahraga supaya tidak hilang. Bajunya khas baju olahraga sekolah di desa. Nggak ada yang namanya ukuran S, L, M XL. Adanya hanya XXL. Hanya satu ukuran untuk semua. Sangat tidak estetik untuk dipakai foto bareng Mickey Mouse. Tapi siapa peduli, toh dulu belum ada Tiktok dan aplikasi pencitraan bernama Instagram. Jangankan sosial media, hp berkamera saja tidak ada. Kami pakai hape monophonic Nokia 3315 atau 3310. Itupun bangganya sudah luber-luber. Dikalungin ke mana-mana dan dipeluk setiap malam saat tidur karena takut dicuri. Kontras sekali dengan sekarang di mana rumah-rumah sudah dipasangi internet rumah sekaligus perlengkapan elektronik yang canggih-canggih.
Jadilah hari di mana kami ke Dufan adalah momen live to the fullest. Kami nggak mau menyia-nyiakan waktu dan mencoba segala wahana yang ada. Meskipun ini piknik mode murah meriah, Dufan tidak boleh dianggap sepele. Dufan adalah HIDUP itu sendiri. Tentang menikmati hidup dan masa bodo dengan apa yang terjadi di luar sana.
Meski cuma pakai baju olahraga sekolah, meski pakai sendal ala kadarnya, meski nggak bawa uang banyak, bodo amat. Aku mau bersenang-senang di Dufan.
Waktu itu pertama kalinya aku melihat begitu banyak wahana permainan yang modern dan berkelas. Di mana kalau di kampung, yang aku tahu cuma odong-odong pasar malam. Dufan tentu saja lima kali lipat lebih besar dan memukau. Aku mencoba masuk ke Istana Boneka, Halilintar, Bianglala, Kuda-kudaan, dan mungkin masih dua atau tiga lagi. Sebetulnya kurang puas, tetapi mau bagaimana lagi, antrenya itu lho. :D
Usai dari Dufan, aku merasa telah resmi menjadi anak gaul segaul-gaulnya. Aku merasa sudah sah ngomong lu- gue sambil membusungkan dada. Wahai Jakarta, engkau telah aku taklukkan – dengan naik Halilintar Dufan.
Itulah sekelumit kisah kampunganku pertama kali ke Jakarta. Seorang anak desa yang tidak tahu apa-apa, menginjakkan kaki untuk pertama kali ke kota besar. Terkagum-kagum tanpa henti dan ingin kembali lagi.
Di masa-masa mendatang, saat lingkungan dan perekonomian ku membaik, aku beberapa kali pergi ke Jakarta. Entah untuk perjalanan dinas, ataupun mengunjungi relasi. Kini aku tidak lagi menggunakan hape monophonic. Eranya digital telah membuat smartphone seharga kacang sebungkus, dan tiap rumah dapat memasang jaringan internet menyatukan Indonesia.
Jakarta sudah berkali-kali merayakan HUT yang tiap tahun selalu ramai. Aku bisa dengan mudah mengakses info Jakarta melalui Internet Rumah dengan Wifi Cepat. Untung layanan Telkom Grup IndiHome sudah sangat memadai. Sehingga pekerjaanku jauh lebih cepat.
Sebuah pekerjaan yang kadang-kadang membawaku pergi lagi ke Jakarta. Meski berkunjung beberapa kali, sampai kapanpun tidak akan lupa kali pertama ke Jakarta di tahun 2003. Selamat Ulang Tahun Jakarta yang ke-495.
Andhika Lady