Ada banyak pihak yang terlibat dalam proses tumbuh kembang Linam selama ini. Mulai dari ia terdiagnosis GDD (Global Development Delay) hingga sekarang sudah bisa catch up dengan perkembangan sesuai usia (alhamdulillah). Semua ini adalah hasil kerja keras orang-orang luar biasa yang mendedikasikan ilmu dan waktunya untuk anak-anak dengan permasalahan tumbuh kembanmg seperti Linam. Mereka semua adalah Dokter Spesialis Anak Tumbuh Kembang, dokter Rehab Medik, kami sebagai orangtua, keluarga yang selalu mendukung, teman-teman online yang mendoakan, dan satu lagi....
Fisioterapis yang senantiasa mendampingi proses belajar berjalan Linam.
Di sini aku akan memberikan kredit kepada fisioterapis Linam. Ia adalah Mba Sari.
Aku masih ingat sekali, dengan sosok Mba Sari. Ia adalah fisioterapis yang mengampu tumbuh kembang Linam. Mulai dari pertama kali mendaftar, hingga sudah bisa berjalan.
Saat usia 18 bulan, Linam betul-betul belum punya kemampuan untuk berdiri. Merangkak pun tidak bisa. Dia cuma bisa ngesot menyeret pant*t untuk berpindah tempat. Selain itu, postur tubuhnya juga buruk, yakni punggungnya terlampau melengkung ke depan. Kabarnya, itu karena terburu-buru didudukkan sebelum tulangnya kuat. Nah, padahal anak-anak seusianya wajarnya sudah bisa berjalan, bahkan berlari.
Sebelum bisa berjalan, anak sebaiknya harus melewati tahapan perkembangan berurutan. Mulai dari duduk sendiri, merangkak/merayap, berdiri berpegangan, rambatan, hingga berjalan sendiri.
Semua tahapan itu harus dilewati. Karena tahapan itu akan beriringan dengan pertumbuhan otak. Misal saat bayi merangkak, ada bagian otaknya yang jadi aktif untuk mengatur koordinasi antara gerak tangan, gerak kaki, mata untuk melihat, dan anggota tubuh lainnya. Koordinasi ini penting untuk motorik halus dan motorik kasar pada manusia di sepanjang hidupnya.
Saat pertama ketemu Mba Sari, kami dijelaskan bagaimana proses fisioterapis dan aturan-aturan yang harus ditegakkan saat latihan sendiri di rumah. Oh iya, kalau memutuskan untuk menerapi anak, pastikan tidak cuma latihan di klinik saja ya. Di rumah juga harus aktif bergerak supaya perkembangannya lebih pesat.
Untuk awal-awal terapi, Linam yang masih kecil itu langsung menangis. Wajar saja sih, dia belum pernah mengalami situasi di mana ia ditinggal sendirian di ruangan bersama orang asing. Tapi sebagai orangtua, aku harus tega. Karena kalau aku ikut di dalam ruangan terapi justru bisa mengaburkan fokus Linam untuk belajar.
Kadang sebagai orang tua mesti harus tega di situasi tertentu demi kebaikan anak, Bun.
Dan begitulah, selama aku dan Mba Sari satu koordinasi, semua bisa berjalan lancar. Meski kadang beliau galak sama Linam, tapi aku nggak khawatir. Karena galaknya juga masuk akal. Misal agak 'memaksa' memegangi pant*t Linam agar tidak berpindah posisi default ngesot.
Menurut Mba Sari, kalau anak sudah terbiasa ngesot, settingan defaultnya, ya ngesot. Dia akan kesulitan menggapai posisi normal merangkak. Padahal merangkak untuk bayi itu penting sekali. Sehingga fisioterapis akan melakukan teknik-teknik yang dimaksudkan untuk mengajari anak merangkak.
Proses mengajari Linam dari ngesot ke merangkak membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Itupun dia masih suka ngesot kalau nggak sengaja.
Dan yaa, meskipun sekadar milestone kecil seperti merangkak aja aku udah senang banget. Artinya tinggal beberapa step lagi menuju berjalan. Rasanya udah nggak sabar lagi mengajak Linam jalan-jalan di taman bergandengan, sambil main bola, lalala.
Kemudian terapi masih berlanjut. Kali ini kelasnya berubah menjadi belajar rambatan. Nah, inilah pentingnya memberikan konsep berpindah tempat dengan dua kaki kepada Linam. Ribet juga ya ternyata fisioterapi itu, untung Mbak Sari orangnya sabare pool.
Hingga pada akhirnya Linam bisa melangkahkan langkah pertamanya, kami jadi sering ngobrol satu sama lain. Aku jadi tahu kalau rumah tinggal Mba Sari itu di Surakarta, padahal lokasi kerjanya di Jogja. So, Mbak Sari harus ngelaju dari Solo-Jogja setiap harinya menggunakan kereta dan kendaraan pribadi. Benar-benar sebuah dedikasi.
Tapi ini juga masuk akal, karena Mba Sari adalah lulusan Poltekkes Surakarta, di mana kampusnya membuka jurusan aneka terapi medis yang tidak dibuka di kampus-kampus lain. Untuk itulah banyak terapis-terapis handal yang domisilinya kalau nggak Solo, Klaten dan sekitarnya. Bahkan untuk program studi Okupasi Terapi malah cuma ada dua di Indonesia. Yaitu UI dan Poltekkes Solo. Padalah prospek kerja terapis medis ini terbuka lebar di mana-mana. Banyak rumah sakit yang harus menunggu lama sampai ada lulusan terbaru.
Semakin banyaknya orangtua yang concern dengan tumbuh kembang anak, harusnya pemerintah juga memperhatikan bidang keilmuan ini. Terapi medis. Ingat, tidak hanya penderita strooke atau kaum lanjut usia saja yang kerap membutuhkan terapi, bayi-bayi yang berkebutuhan khusus juga.
Kita tentu masih ingat, generasi orang tua terdahulu cenderung mengabaikan perkembangan anak. Atau malah justru menggunakan cara-cara tradisional nir-ilmiah untuk mengatasi masalah tumbuh kembang. Misalnya kalau terlambat jalan, kakinya disabetin belut. Atau kalau telat ngomong, entah mulutnya dikasih apa supaya mau ngomong. Ini tentunya menjadi bahan edukasi kita bersama. Salah satunya adalah dengan memperbanyak generasi-generasi handal para terapis profesional bersertifikat.
Mudah-mudahan sosok seperti Mba Sari yang harus ngelaju 50km setiap harinya bisa diminimal. Kayaknya aku ingin dia diberi voucher kereta komuter untuk setahun, supaya perjalanan Solo-Jogjanya lebih mudah. Besar harapan, para pahlawan-pahlawan tumbuh kembang tersebut mudah mencari pekerjaan yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Caranya dengan apa? Ya dengan memperluas/membuka program studi terapi medis secara menyebar dan merata.
@andhikalady
=====================
Jangan lupa yuk ikut lomba artikel bertema #KadoUntukPahlawan yang diadakan Superapp.com. Ceritakan sosok inspiratif dan pahlawan di sekitarmu, dan raih hadiah jutaan rupiah plus hadiah untuk pahlawanmu.