Pernah suatu masa, aku membuat jadwal acara harian dengan satuan jam -- seperti yang dilakukan orang normal.
Jam 5 bangun,
Jam 7 siap-siap ke kantor,
Jam 9 meeting,
Dst.
Namun kini situasi berbeda. Meskipun di atas kertas (atau di
gadget kalo sekarang), aku mengatur jadwal dengan satuan jam, pada kenyataannya
sulit sekali menepati jadwalku. Penyebabnya adalah aku punya toddler yang punya
jadwal mood dan bermain tidak menentu. Sudah dicoba untuk mendisiplinkan dia
dengan mengatur jadwal hariannya, tetapi masih belum berhasil.
Any ABC tips to discipline THE toddler here will be fully apreciated.
Dulu, untuk menjadi fokus dan mengalokasikan waktu satu jam
penuh untuk bekerja -- menulis artikel misalnya, tidaklah sulit. Sekarang
astaga, kok sulit sekali.
Pasalnya, setiap aku sudah fokus in track dengan suatu
pekerjaan, tahu-tahu terdengar suara "Mamaa, mamaa, mamaaa" yang
tidak mudah diabaikan. Kalaupun aku cuek, nadanya memanggil semakin meninggi
mengungguli keviralan Mas Aris Layangan Putus.
Setiap itu terjadi, fokusku otomatis langsung buyar. Apa pun
yang aku kerjakan mendadak hilang arah. Bingung mau apa. Interupsi yang kuakui kurang menyenangkan kerap terjadi, dan, otomatis membuatku meninggalkan segala rupa
kegiatan yang sedang aku lakukan.
Lalu kemudian momen revelation itu muncul.
Beberapa hari lalu, aku sekilas membaca story IGnya Mbak Uma Hapsari (CEO sepatu Amazara) yang membahas tentang cara organizing mengatur waktu dan emosi dalam rumah. Di story itu (yang malah kelupaan nggak aku capture), Uma membahas pentingnya untuk memberi boundaries dan jangan mengambil posisi untuk bertanggungjawab terhadap mood orang lain. Termasuk MOOD ANAK.
Kalau anak kita tantrum, sebisa mungkin jangan ikutan badmood atau menyerap energi negatif anak saat ia sedang tantrum. Jangan mau emosi kita
dikendalikan oleh anak. Kurang lebih begitu.
Ini aku refleksikan ke diri sendiri.
Ternyata selama ini aku terlalu menyerap banyak energi
negatif dari sekitar. Anak tantrum, aku ikutan stress. Anak rewel aku pusing.
Termasuk juga kalau suami BT, aku ikutan BT. Sialnya kadang aku mengambil
keputusan penting bukan karena logika dan pikiran jernih, tapi karena terlalu
mempertimbangkan mood dan perasaan orang di sekelilingku.
Ilustrasinya begini, misal di tengah aku sedang bekerja
dengan serius dan melibatkan orang lain (misal lagi zoom class), tahu-tahu
suami minta bantuan. Aku yang ga enak sama dia dan nggak mau mood suami jadi
jelek (padahal bisa aja aku tolak), akhirnya menjeda zoom dan menuruti apa mau
suami dulu.
This is bad,,
Padahal suami B aja kalau ditolak. Dia juga orang dewasa yang pasti mengerti jika ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan. Namun karena aku terlalu memikirkan mood orang lain dan secara
sadar mengambil tanggungjawab atas mood orang lain, aku banyak melakukan
hal-hal konyol yang tidak produktif.
Yang seharusnya aku bisa
berpikir jernih tanpa interferensi pengaruh negatif dari luar, tetapi malah
sebaliknya. Aku muncul bukan sebagai istri yang solutif, tetapi sebagai istri
subsider yang mengekor apa kemauan suami.
Yes, kadang patriakis bukan masalah pengaruh laki-laki yang
seenak udel, tapi naluri dan insting perempuan juga bisa menumbuhsuburkannya.
So, aku mengambil sikap.
Aku mencoba menggunakan semacam tombol on/off di dalam
kepala, yang berfungsi memfilter energi apa saja yang masuk. Ini aku terapkan
ke segala macam emosi dari luar. Kalau ada emosi negatif, misal anak tantrum,
gelombangnya tidak aku masukkan ke pusat emosiku di otak. Anak tantrum, cukup
kita penuhi kebutuhannya apa. Apakah dia minta ditemai, apakah dia minta
sesuatu, kasihkan saja. Tapi jangan sampai aku ikutan stress dibuatnya.
Hal itu juga aku terapkan ke semua orang. Aku mencoba tidak
mengizinkan siapa pun mengatur emosi dan mood-ku. I want to own my whole body and mind. Sehingga diharapkan, aku bisa
selalu berpikir jernih dan mengambil keputusan dengan cara yang sehat dan
semestinya.
@andhikalady
0 komentar:
Post a Comment