Mana yang akan kamu pilih?
Sebelumnya aku mau cerita. Dulu aku orangnya percaya dengan 'bakat itu didapat dari lahir'. Jadi kalau kamu pintar (misalnya) menyanyi. Itu artinya kamu udah terlahir dengan bakat menyanyi. Karena berbakat dari lahir, kamu bisa dengan mudah belajar menyanyi tanpa effort. Tahu-tahu bisa jadi penyanyi terkenal, begitu aja.
Yang luput dari pengetahuanku adalah, di balik setiap penyanyi sukses dan terkenal, ada kerja keras berupa:
- menulis lagu
- bekerja sama dengan produser
- membuat tim pemain musik
- menjaga hubungan baik dengan broadcast
- berlatih setiap hari (aku pernah baca kalau Raisa berlatih nyanyi 12 jam sehari)
- dst
Dulu saat umur 6 tahun, aku dibelikan alat musik keyboard sama Bapak. Entah bagaimana caranya, aku langsung paham cara memainkan, meniru lagu, menemukan chord sendiri, mengkombinasikan tangan kanan dan tangan kiri, sampai membuat melodi sederhana. Sampai sekarang aku masih ingat melodinya. Aku juga senang setiap ada tayangan orang main piano di TV. Adegan memorable di film Petualangan Sherina adalah saat dia main piano sambil nyanyi "hatiku sedih, hatiku gundah. Tak ingin pergi berpisah....".
Kalau menonton band, yang aku perhatikan adalah keyboardist-nya. Aku sampai hafal, nama keyboardist Peterpan waktu itu adalah Andika. Wuih, sama dong kayak namaku! Kayaknya kalau nasibku mujur, aku akan menjadi pianis atau keyboardist keren seperti Andika.
Tapi, aku tidak punya privilege semacam itu. Masa kecilku tinggal di desa. Satu-satunya orang yang dianggap pintar main keyboard adalah pemilik orkes organ tunggal dangdutan yang main di hajatan. Sesuatu yang menurut orangtuaku kurang elit dibanding jadi PNS.
"Ngapain kamu sinau keyboard kalo ujungnya jadi pemain orkes hajatan. Mending kamu belajar giat untuk jadi pegawe aja". Maaf bukan untuk merendahkan profesi tertentu, hanya menjelaskan pemikiran orangtuaku saat itu.
Terus akhirnya, sesuatu yang kusebut 'bakat main musik' itu cuma berakhir di band kantor & Soundcloud. Paling mentok, bisa buat sepik cowok-cowok kualitas menengah yang langsung berdecak 'wow' pas tahu aku bisa main keyboard. Wkwkwkwk. Padahal ya bisa bisaan aja.
Karena cuma belajar otodidak dari Youtube, kemampuanku tidak berkembang sebagaimana mestinya. Aku pun butuh waktu yang lama sekali untuk bisa main Pachelbel Canon aja. Ditambah aku tidak mencancang cita-cita menjadi pemain musik profesional setinggi itu. Dengan kata lain, musik bukan prioritas.
Aku pernah ngobrol langsung dengan guru piano beneran, lalu dijeberin kurikulumnya. Ternyata belajar piano nggak sesimpel kamu punya 'bakat' terus bisa main. Udah. Nooo...
Ada teknik menata jarinya, ada kiat membaca not balok, ada cara memainkan feeling, dll. Lalu si guru baik hati itu bilang kalau caraku bermain keyboard selama ini salah. Wkwk ya nggak apa-apa namanya juga main musik for fun only. Salah ya nggapapa yang penting kita senang, cowok inceran juga bisa lah dapet.
Di titik itu aku merasa, wah, sebetulnya sayang banget bisa main musik tapi kurang di-explor dan tidak dipakai latihan secara serius.
Lalu waktu berjalan. Aku menemukan passion lagi di makeup. Aku waktu itu masih percaya konsep 'bakat dan belajar otodidak'. Konsep ini tidak sepenuhnya salah. Memang ada benarnya, bakat ada, belajar otodidak juga bisa. Tapiii, yang nggak aku sadari adalah adanya 'bahaya' yang lebih besar mengincar...
Mau sampai kapan percaya istilah 'bakat itu dari lahir'?
Kalau nggak dilatih dan diasah ya sama saja.
Mau sampai kapan mengandalkan belajar otodidak aja?
Yakin belajar otodidak aja udah cukup?
Yakin kamu nggak akan kesulitan menyamai pace mereka yang belajar sungguh-sungguh?
Mau berapa tahun kariermu mentok di situ-situ aja karena nggak mau cari guru?
Dan begitulah, karena aku nggak menyadari 'bahaya' tersebut, lantas jadi MUA-nya juga cuma jalan di tempat. Ada sekitar 2 tahunan aku nggak pernah merias client lebih dari wisuda. FYI, merias wisuda adalah milestone begginer sebagai MUA, sebelum beranjak kompeten merias pengantin tradisional. Menguasai makeup wisuda adalah hal mudah. Tapi menjadi dukun manten (apalagi yang tradisional) adalah hal lain. Kamu butuh guru dan mentor yang memang menguasai ilmunya. Ini ilmu pakem, ilmu yang tidak sembarangan diaplikasikan. Begitu juga dengan makeup no makeup yang terlihat flawless tapi tetap cantik dipandang. Kamu tidak bisa hanya mengandalkan Youtube tanpa menerapkan langsung.
Aku sadar aku musti berubah.
Aku juga dikasih tahu sama Pak Rangga kalau aku nggak bisa begini terus.
Kata dia, konsep 'bakat dari lahir' itu nggak akan ke mana-mana kalau tidak mau berusaha.
Harus kerja keras, harus mengambil langkah tepat yang nggak membuang waktu.
Aku mulai cari guru. Guru yang memang sudah mengerti dan berkecimpung di bidangnya.
Aku ingin skill dan kompetensiku ter-akselerasi.
Kalau belajar otodidak butuh 2 tahun, dengan guru yang tepat bisa belajar 2 hari saja.
Sekarang aku sadar bahwa, untuk belajar dengan cepat butuh guru. Bukan sekadar belajar otodidak. Meski banyak orang mampu menyerap dan berlatih sendiri, tetap ada banyak value yang lebih bisa didapatkan dari mentor.
Kalau kaitannya adalah skill yang berpengaruh dengan hidup dan mati, aku rasa lebih bijak kalau memilih belajar melalui mentor. Namun apabila skill itu untuk for fun aja, dan kamu tidak masalah belajar sendiri, otodidak menjadi pilihan yang baik.
Aku tidak apa-apa tidak jadi pianis profesional, tapi aku mau jadi MUA profesional.
@andhikalady
0 komentar:
Post a Comment