Memilih cara KB adalah hal yang gampang-gampang susah buat saya. Tapi (kayaknya) lebih susah lagi menanggung punya anak banyak dengan jarak dekat-dekat. Beuh. Untuk itulah saya memutuskan langsung ber-KB setelah nifas usai. KB yang saya pilih adalah IUD (intra uterine device) dan sejauh ini belum menyesal memilih ini.
Kenapa memilih IUD?
Pertama-tama, saya nggak disiplin meminum pil setiap hari. Kedua, lebih baik mengulangi trip kontrol IUD setiap enam bulan ketimbang disuntik setiap tiga bulan. Ketiga, media lain tidak menarik. Sehingga saya mantap dengan IUD.
IUD sendiri setahu saya ada dua jenis, tipe plus hormon dan tanpa hormon. Saya memakai yang non hormon, kabarnya lebih aman untuk yang menyusui. Saya memang menghindari segala jenis KB yang mengandung hormon seperti pil, suntik, implan, ataupun IUD yang berhormon dengan harapan untuk menghindari pengaruh pada ASI.
|
IUD dan alat insersinya. |
Proses pemasangan
Sebelum dilakukan pemasangan IUD, dokter/bidan biasanya akan memberi pengarahan singkat tentang bagaimana alat ini bekerja, berapa lama harus kontrol kembali, sampai masa waktu pakai IUD. Selain itu juga dijelaskan proses pemasangan dan efek sampingnya. Waktu itu saya dijelaskan bahwa dengan pemakaian IUD dapat menyebabkan haid berlangsung lebih lama (yang mana saya belum tahu karena sampai sekarang belum haid juga).
Setelah mantap, saya dipersilakan untuk tiduran di alat yang dinamakan stirrup, mengangkangkan kaki seperti posisi melahirkan, kemudian petugas kesehatan akan melancarkan aksinya di 'bawah' sana. Mereka menggunakan alat yang dinamakan spekulum untuk membuka vagina agar IUD mudah dimasukkan ke dalam rahim. Supaya mengurangi rasa nyeri, bisa juga menggunakan bantuan gel khusus.
|
Spekulum untuk membuka vagina |
Gimana rasanya? Ya tetap nyeri, nggak nyaman, dan berontak. Secara alami memang bagian 'bawah' dirancang untuk menolak benda yang masuk. Namun demi kesuksesan implantasi IUD, saya tahan-tahan sebentar. Setelah 10 menit penuh perjuangan, akhirnya masuk juga benda berwujud huruf T itu.
Banyak wanita mengurungkan pakai IUD karena takut sakit, nyeri, dan segala macam. Tapi buat yang sudah pernah melahirkan, memasang IUD nggak ada apa-apanya kok. Memang ada nyeri dikit, tetapi hanya sementara. Masih lebih nyeri membayangkan hamil lagi saat anakmu baru enam bulan kok.
Nah, begitu selesai pemasangan, rasanya seperti tidak pakai apa-apa. Hanya saja dalam waktu beberapa jam setelah pemakaian, muncul bercak darah seperti menstruasi. Keluarnya juga selama beberapa hari seperti menstruasi sehingga saya perlu memakai pembalut.
Saya diminta kontrol dua minggu setelahnya. Kemudian kontrol lagi sebulan, tiga bulan, dan setelah itu setiap enam bulan sekali. Sejauh IUD tidak bermasalah, kontrol bisa dilakukan setahun sekali. Kebanyakan bocor IUD adalah karena kontrol yang terlambat. Saya sih nggak berharap itu terjadi, pinginnya aman-aman saja tidak terjadi pembuahan saat memakai KB.
Lalu gimana kontrol IUD di saat pandemi seperti ini?
Alternatif saya adalah mencari klinik yang bukan di rumah sakit untuk memeriksa IUD. Sebelum memutuskan menggunakan KB jenis apapun, ada baiknya kamu melakukan riset terlebih dahulu. Bisa melalui membaca artikel online misalnya di Halodoc, atau tanya teman yang sudah melakukannya.
Buat saya, segala tindakan keputusan kesehatan untuk diri sendiri dan keluarga sebaiknya sudah diputuskan matang-matang. Memeriksakan anak sakit, memasang KB, kontrol kesehatan, hingga
vaksin corona sebaiknya sudah di-googling-kan dulu sebelum ke ahlinya.
Kalau kamu sendiri, lebih nyaman pakai KB apa?
@andhikalady
Continue reading Pengalaman Pasang IUD, Seram Nggak Sih?