Jogja dan Solo.
Kedua tempat ini dekat, hanya berjarak 64 km. Namun dalam sejarah kemataraman, kedua kota ini memiliki nilai sejarah yang adiluhung, termasuk tentang tata rias pengantin (TRP). Buat yang belum paham mungkin akan menganggap kedua gaya TRP Jogja & Solo sama persis. Sama-sama Jawa kan? Sama-sama menggunakan paes (sejenis riasan hitam di dahi pengantin), sama-sama pakai batik, cara ngomongnya juga sama-sama medhok. Jadi sama ajalah, nggak usah dibikin pusing. Pengantin Jawa ya pengantin Jawa aja.
Apakah benar demikian?
|
Paes Jogja Putri Hijab (modifikasi), dan paes Solo Putri. Makeup by Jenganten. |
Padahal paes Solo Putri dan Jogja Putri banyak perbedannya. Sekilas mungkin terlihat sama, tetapi pada kenyatannya, baik simbol, bentuk, aksesoris, dan pakem riasan sangat berbeda. Dulunya, satu kerajaan Mataram memiliki satu pakem riasan, yaitu Paes Ageng yang kini dimiliki oleh keraton Yogyakarta. Paes Ageng itu seperti ini:
Paes Ageng yang indah, bertahtakan emas prada asli di bagian pinggiran paesnya. Riasan seperti ini dibilang cukup 'mahal', makanya dulu hanya boleh dilakukan oleh royal family keraton, rakyat jelata tidak boleh menggunakan riasan ini untuk nikahan mereka. Namun setelah zaman HB IX, Paes Ageng diperbolehkan diterapkan pada pernikahan masyarakat luas, agar tradisi tetap lestari.
Sementara riasan untuk rakyat jelata dibuatkan paes yang lebih 'ekonomis' yaitu paes yang kini dikenal sebagai Jogja Putri (pada praktiknya juga diterapkan oleh royal family khusus untuk acara nikahan tertentu). Paes Jogja putri (lihat di foto pertama postingan ini sebelah kiri), hanya sapuan warna hitam dengan ukuran spesifik, dengan tata rias rambut dan sanggul khas Jawa.
Dari tadi mbahas Jogja terus, kapan Solonya?
Sabarrr, memang segala rupa tata rias pengantin Jawa sekarang itu diduga berasal dari Jogja kok. Nah, setelah perjanjian Giyanti alias perjanjian pemisahan Mataram menjadi Mataram Jogja dan Mataram Solo, mulailah tradisi dibagi-bagi. Khusus untuk TRP, Jogja mendapatkan warisan Paes Ageng dan Paes Jogja Putri, sementara Solo tidak mendapat apa-apa. #sedihh.
Tetapi, seniman-seniman Solo tak tinggal diam. Mereka dengan kreatif merumuskan tata rias khas Solo yang kini kita kenal. Ada Solo Putri, Solo Basahan, dan Solo Keprabon, serta beberapa pakem lainnya. Kini tata rias pengantin khas Solo telah dipatenkan/dipakemkan dan sudah digunakan di ribuan acara pernikahan di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Termasuk beberapa artis ibukota seperti putri Bapak Jokowi, Kahiyang.
Dari beberapa jenis TRP yang saya sebutkan barusan, ada dua jenis yang sekilas tampak mirip, yaitu Solo Putri dan Jogja Putri. Apa saja yuk perbedaannya?
Bentuk Paes
Pada paes Jogja Putri, bagian tengah dahi, atau disebut penunggul, punya ujung yang lancip seperti daun sirih dan mengarah ke hidung. Sementara pada paes Solo Putri, bagian tengahnya disebut gajahan dan membulat seperti telur bebek dan mengarah ke titik di antara kedua mata.
Gampangnya, paes Jogja bentuknya lancip-lancip, sementara paes Solo mbulet-mbulet.
Bentuk Sanggul
Sanggul pada TRP Jogja Putri umumnya lebih besar daripada sanggul Solo Putri. Sanggul Jogja Putri terbuat dari untaian rambut yang dibentuk seperti huruf W. Adapun sanggul Solo Putri yang pakem terbuat dari daun pandan sehingga wangi. Namun pada praktiknya, karena daun pandan itu berat, banyak yang menggantinya menjadi sanggul rambut biasa.
Mentul (hiasan konde di atas sanggul)
Mentul, atau dalam bahasa Sunda kerap disebut kembang goyang adalah hiasan yang ditancapkan di atas sanggul pada pengantin tradisional. Pada Jogja Putri, mentul terdiri dari satu, dua, tiga, atau lima buah yang ditancapkan, ditambah dengan hiasan berbentuk segitiga bernama sariayu.
|
Mentul Sariayu Jogja Putri |
Fun fact: pada TRP pakem Jogja Putri, justru mentul & sariayu yang indah itu dipasang
menghadap belakang lho. Filosofinya adalah supaya pengantin tetap terlihat ayu/cantik baik dari depan maupun belakang. Namun pada pengantin komersial, perhiasan ini dipasang menghadap depan.
Dewasa ini banyak pengantin tradisional modifikasi yang agak melenceng dari pakem, tapi buat saya pribadi, selama pasar suka dan nggak terlalu jauh melencengnya, it's okay. Misal ada pengantin berhijab yang ingin dipaes, ya sudah, bikin aja paes hijab. Beres.
Sementara untuk pengantin Solo Putri, mereka menggunakan mentul, centung dan sirkam di hiasan rambutnya. Mentul ini biasanya berjumlah 7 atau 9 dan tidak pernah kurang dari 7.
Jadi nggak mungkin ya, kalau ada pengantin berpaes lancip-lancip tetapi jumlah mentulnya 9, atau paesnya bulat-bulat, tetapi pakai sariayu. Big no! Sebelum saya mengatakan ini, izinkan saya minta maaf terlebih dahulu ya. Biasanya, banyak perias pengantin berdomisili di luar Jawa kerap kali salah kaprah menerapkan pakem standar ini. Antara paes, aksesoris, dan bunga melati sering bercampur dan tidak jelas adat mana, Jogja atau Solo.
Melati
Paes Jogja Putri dikenal karena kesederhanannya, termasuk bentuk melatinya yang sangat irit, hanya berupa karang jagung/tepes di bagian bando. Yaks, cuma itu aja lho. Nggak perlu rame-rame menjulurkan sampai ke dada.
|
Jogja Putri |
Sedangkan pada Solo Putri, melati tampak lebih banyak. Ada tibo dodo, pengasih, karang jagung hingga pembungkus sanggul. Melatinya tampak rame dan wanginya semerbak kemana-mana.
Itulah beberapa perbedaan antara Paes Jogja Putri dengan Paes Solo Putri. Sekilas sama, tetapi beda penerapan dan proses meriasnya. Saya sendiri masih belajar untuk menghaluskan pola paes saya, karena untuk bisa menciptakan paes yang indah, presisi dan manglingi itu nggak semalam langsung jadi. Butuh banyak jam terbang, sambil mempelajari makna filosofis di baliknya.
Ini saja baru bahas soal paes sudah sebanyak ini. Apalagi kalau bahas busana Jogja dan Solo, bakal makin riuh lagi. Lagipula, jika kita banyak belajar soal tradisi, yang ada malah akan semakin terkagum-kagum dengan kreatifitas nenek moyang kita. Kok bisa nemu filosofi ini, kok bisa temanya seindah ini. Kok bisa mix and match secara apik tanpa meninggalkan kesan tradisinya?
Pendahulu kita memang hebat-hebat.
@jenganten
Info booking makeup.